Lanjut ke konten

Bahasan Utama

Oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Sepenggal Kisah Reformasi

Rusuh di mana-mana. Demonstrasi pun merebak di mana-mana. Itulah situasi yang mewarnai perjalanan awal sebuah reformasi. Sebuah situasi yang secara sengaja diskenario untuk membuahkan pergantian kekuasaan. Berbagai elemen masyarakat digerakkan untuk aksi turun ke jalan seraya menggaungkan agenda reformasi. Masyarakat, dengan berbagai strata, terus-menerus dicekoki dengan informasi-informasi yang membuka aib penguasa. Terjadilah sebuah situasi yang panas bergejolak. Tekanan demi tekanan terus dilancarkan guna menggoyang kekuasaan yang ada.

Pola-pola semacam ini tak semata berlangsung di Indonesia. Tidak hanya saat reformasi diletupkan guna menggusur Orde Baru. Saat Orde Lama tumbang, pola yang nyaris sama pun dilakukan. Masih lekat dalam benak sejarah, mahasiswa turun ke jalan, bentrok dengan aparat, lalu ada yang tertembak mati, setelah itu tersulutlah amarah massa. Situasi ini menjadi chaos, rusuh bergejolak. Suhu politik semakin meninggi. Banyak elite politik bermain guna mendapatkan bola liar yang tengah bergulir. Keadaan semacam itu nyaris sama terjadi tatkala Orde Baru hendak dilengserkan. Tidak cuma di Indonesia, di beberapa negara pun situasinya didesain hampir serupa. Sebut saja seperti di Filipina atau beberapa negara lainnya.

Aksi demonstrasi yang didengung-dengungkan setiap hari di berbagai kota besar di Indonesia menjelang surutnya kekuasaan Orde Baru kian mendekati titik membara. Banyak elemen masyarakat yang tak bisa mengendalikan emosi dan berpikir rasional. Di Medan, mahasiswa hampir setiap hari berunjuk rasa. Bahkan, situasi semakin melebar hingga mampu memengaruhi sebagian masyarakat. Masyarakat Medan pun telanjur tak terkendali dan mulai berbuat onar. Medan menjadi kota besar pertama yang menjadi korban kerusuhan. Antara 4-7 Mei 1998 terjadi pembakaran, perusakan, penjarahan toko-toko, pasar, dan kendaraan. Kerusuhan ini menjalar ke beberapa kota seputar Medan. Di Yogyakarta pada 5 Mei 1998 terjadi rusuh. Ini merupakan aksi mencekam terkait reformasi, sama seperti di Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Mahasiswa bentrok dengan aparat. Perusakan dan pembakaran terjadi mulai siang hingga malam hari. Kerusuhan kedua terjadi 8 Mei 1998. kerusuhan kedua di Yogyakarta ini berskala lebih besar daripada kerusuhan 5 Mei 1998. di Jakarta tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa turun ke jalan, demo. Mereka menuntut penguasa lengser dari kursi jabatannya. Sore hari, keadaan makin memburuk. Empat mahasiswa terbunuh. Puluhan lainnya, terdiri dari masyarakat dan mahasiswa, mengalami luka-luka. Hingga tanggal 15 Mei 1998, di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia mengalami situasi yang sama: rusuh! Keadaan pun makin tak terkendali. Ribuan bangunan milik masyarakat, aset negara, toko, dan kendaraan, hancur-lebur dirusak dan dibakar massa.

Sebelum mahasiswa secara sporadis melakukan aksi-aksi demonstrasi menuntut penguasa turun, muncul sosok tokoh yang senantiasa membuka aib penguasa di depan masyarakat umum. Selain melalui tulisan-tulisannya di media massa, sosok tokoh ini pun aktif memompa masyarakat untuk memusuhi penguasanya melalui acara-acara “pengajian”. Statusnya sebagai pembesar salah satu ormas terbesar di Indonesia memungkinkannya untuk leluasa menggalang massa. Ceramah-ceramahnya di hadapan massa selalu berkutat masalah aib-aib penguasa dan berupaya mengajak masyarakat mendongkel sang penguasa. Sosok tokoh ini pun memiliki rencana besar untuk mempercepat penggulingan kekuasaan. Pada 20 Mei 1998, dia berencana mengarahkan sejuta massa ke Lapangan Monas di seberang Istana Negara, meskipun akhirnya rencana ini dibatalkan.

Tekanan untuk melengserkan penguasa pun tak hanya di situ. Melalui berbagai tokoh “cendekia” lainnya, saran-saran untuk meletakkan jabatan pun disampaikan. Beberapa tokoh “cendekia” sempat mendatangi Istana guna meminta penguasa agar bersedia mengundurkan diri. Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 1998, sekitar pukul 22.15, Presiden Republik Indonesia pada waktu itu memutuskan untuk berhenti sebagai presiden. “Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi, Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945,” demikian pernyataan Presiden. (Soeharto, Biografi Singkat, 1921-2008, Taufik Adi Susilo, hlm. 111)

Setelah pergantian kepemimpinan negara terjadi, apakah situasi negara semakin stabil? Walau kepemimpinan negara telah berpindah tangan, ternyata sebagian masyarakat tidak mau menerima keadaan seperti itu. Pemimpin baru pun terus dipermasalahkan. Diungkit aib-aibnya di hadapan masyarakat luas. Melalui beberapa media, disemburkan bibit-bibit kebencian terhadap penguasa. Masyarakat diasupi informasi-informasi yang memicu permusuhan terhadap pemimpinnya. Rakyat dihasung untuk menolak dan mendongkel penguasa baru. Keadaan ini terus berlanjut. Masyarakat pun akhirnya sulit mendapatkan rasa aman dan nyaman hidup id Indonesia. Ini semua akibat ulah para provokator yang senantiasa bersikap antipati terhadap penguasa. Kehidupan bermasyarakat selalu diwarnai aksi unjuk rasa. Membuka sisi negatif kehidupan penguasa merupakan santapan sehari-hari. Sebuah pendidikan sosial politik yang sangat buruk bagi masyarakat. Masyarakat senantiasa diajari untuk selalu berkonflik, membuka jurang antara penguasa dan rakyatnya, serta dididik untuk selalu curiga. Sebuah potret kehidupan yang sangat sarat ketidaknyamanan. Sebuah struktur masyarakat yang sangat rentan terhadap berbagai konflik dan penyakit sosial lainnya. Tak mengherankan jika kemudian masyarakat sangat mudah dipicu untuk berbuat onar, rusuh, beringas, dan sadistis. Kerusuhan pun mewarnai kehidupan bangsa yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah. Terjadi pembantaian terhadap kaum muslimin di Poso, Ambon, Maluku Utara, dan tempat lainnya. Timbulnya keresahan masyarakat Aceh juga akibat aksi-aksi separatisme pada masa itu. Semua peristiwa itu mengguratkan kehidupan yang kelam dan memilukan. Ironisnya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi setelah ide-ide reformasi digaungkan.

“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)

Upaya suksesi, penggulingan kekuasaan, atau sikap anti terhadap penguasa melalui cara-cara pengerahan massa, sebenarnya pernah dilakukan tokoh Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ semasa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan. Abdullah bin Saba’ yang menampilkan diri secara lahiriah sebagai seorang muslim namun dalam batinnya menyimpan kekufuran, secara intensif berupaya mengembuskan api permusuhan terhadap pemerintah. Masyarakat Mesir sempat terprovokasi sehingga mereka melakukan pergerakan menentang pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan. Puncak dari aksi provokasi yang didalangi Yahudi ini adalah terjadinya pengepungan (melalui aksi demonstrasi) terhadap kediaman Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibat aksi pergerakan massa tersebut, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh.

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah pernah ditanya berkenaan dengan aksi demonstrasi. Apakah aksi demonstrasi ini merupakan cara yang diperkenankan dalam agama?

Beliau hafizhahullah menjelaskan bahwa Islam bukan agama yang tidak memiliki aturan. Bukan agama yang kacau tak beraturan. Islam adalah agama yang tenang. Demonstrasi atau unjuk rasa tidak termasuk perbuatan kaum muslimin. Islam adalah agama yang tenang dan penuh rahmat. Tidak mengajarkan kekacauan, mengembuskan berita-berita tak benar dan fitnah. Demonstrasi adalah aksi yang bisa menimbulkan fitnah yang besar, mendorong pertumpahan darah, dan menghancurkan harta benda. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh melakukan hal-hal di atas. Bahkan, apabila umat dalam keadaan ditekan pihak penguasa sekalipun, hendaknya bersabar. Kemudaratan tidak bisa disingkirkan dengan hal-hal yang menimbulkan mudarat (yang lebih besar). Apabila terjadi kemudaratan atau kemungkaran, hendaklah tidak disingkirkan dengan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi. Yang demikian tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, akan menambah keadaan menjadi semakin buruk. Karena itu, serahkanlah keadaan kepada yang bertanggung jawab menangani dan berikanlah nasihat kepada mereka. Jika keadaan tetap belum berubah, wajib bersabar sebagai bentuk pencegahan dari mudarat yang lebih besar. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hlm. 232 dan 235)

Bagaimana cara memberi nasihat yang sesuai syariat terhadap penguasa? Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa menasihati penguasa bisa melalui beberapa cara. Di antaranya mendoakan mereka agar tetap dalam keadaan baik dan istiqamah (di atas agama dan kebenaran). Sesungguhnya, mendoakan kebaikan bagi penguasa muslimin termasuk ketentuan syariat. Terutama, mendoakan mereka pada saat-saat dikabulkannya doa dan di tempat-tempat yang diharapkan terkabulkan. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Andai kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami tujukan doa tersebut bagi penguasa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 28/391)

Bila penguasa tersebut baik, niscaya akan membawa keabikan kepada rakyatnya. Jika penguasa tersebut rusak, niscaya kerusakan yang melekat padanya akan berpengaruh pada rakyat. Termasuk menasihati penguasa adalah melaksanakan sistem kerja yang digariskannya terhadap para pegawai atau aparaturnya. Selain itu, hendaknya pula memberitahu pihak penguasa bila terjadi kesalahan atau kemungkaran di masyarakat. Sebab, terkadang pihak penguasa beserta jajarannya tidak mengetahui bahwa telah terjadi kesalahan atau kemungkaran. Namun harus diingat, saat memberitahu perihal tersebut hendaknya dengan cara sembunyi-sembunyi. Cukup antara orang yang menasihati dengan pihak penguasa saja. Jangan sekali-kali menasihati penguasa di hadapan orang banyak secara transparan dan vulgar, atau melakukannya di atas mimbar (media umum). Ini bisa memberi pengaruh yang tidak baik, bahkan akan menimbulkan kejelekan, yaitu menimbulkan jurang permusuhan antara penguasa dan rakyatnya. Perlu diingat pula, bukanlah nasihat apabila dilakukan dengan cara mengkritik penguasa di atas mimbar, menyebutkan kesalahan-kesalahan penguasa di media umum (mimbar) sehingga diketahui orang banyak. Aksi semacam ini tidak akan membantu menciptakan kemaslahatan pada masyarakat. Bahkan, bisa menimbulkan keburukan yang seburuk-buruknya.

Sesungguhnya, menasihati penguasa bisa melalui dengan menyampaikannya secara pribadi, bisa pula menyampaikannya melalui surat, atau melalui orang-orang kepercayaan yang biasa berhubungan dengan penguasa tersebut, sehingga nasihat yang disampaikan bisa diterima dengan baik. Bukanlah nasihat terhadap penguasa bila seseorang menuliskan nasihatnya lantas disebar kepada orang banyak. Yang seperti ini bukan nasihat tetapi fadhihah (menyebarkan kesalahan orang lain kepada masyarakat atau orang banyak). Ini perlu dipertimbangkan matang, sebab bisa menjadi penyebab timbulnya kejelekan, sukacita musuh (Islam), dan menyusupnya para pengikut hawa nafsu ke dalam urusan tersebut. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hlm. 161-163)

Di dalam kitab Syarhus Sunnah, Al-Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Barbahari rahimahullah mengatakan:

“Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap penguasa, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia itu pengikut hawa nafsu. Bila engkau melihat seseorang mendoakan penguasa dengan kebaikan, ketahuilah sesungguhnya dia adalah pengikut As-Sunnah, insya allah.” (hlm. 116)

Seluruh bimbingan para ulama salaf di atas, tentang cara menasihati dan menyampaikan aspirasi terhadap penguasa, bersendi pada apa yang telah disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits dari Syuraih bin ‘Ubaid dan selainnya, Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa ingin menasihati penguasa karena satu hal, janganlah dia menerangkannya secara terbuka (di depan masyarakat). Akan tetapi, hendaklah dia mengambil tangannya, lalu (berbicara dengan penguasa itu. Jikapenguasa menerima (nasihat itu), itulah (yang diharapkan). Jika penguasa itu tidak mau menerima nasihat, sungguh ia telah menyampaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Majma’ Az-Zawa’id no. 9161. Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhriji As-Sunnah, no. 1096)

Sudah semestinya seorang muslim memuliakan penguasanya. Tidak mencela apalagi merendahkannya di hadapan publik. Tidak pula menjatuhkan kehormatannay walaupun untuk menyapaikan aspirasi rakyat. Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits (no. 2224) dari Ziyad bin Kusaib Al-‘Adawi yang bertutur: “Aku pernah bersama Abu Bakrah (seorang sahabat Nabi, -red) di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang berkhutbah dan mengenakan pakaian tipis. Tiba-tiba, Abu Bilal (Mirdas bin Udayyah, seorang tokoh Khawarij) mengkritik seraya berkata: ‘Lihatlah pemimpin kita. Dia mengenakan pakaian orang-orang fasik.’ Abu Bakrah lantas angkat bicara, ‘Diam kamu! Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang merendahkan (menghina) penguasa Allah di muka bumi, pasti Allah akan merendahkan dirinya.” (Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah no. 2296)

Seorang muslim dituntun oleh agama Islam yang mulia ini untuk bersikap mendengar, taat, dan patuh kepada penguasanya, walaupun penguasa tersebut bertindak zalim. Barangsiapa keluar (dari ketaatan) terhadap salah seorang imam (pemimpin) kaum muslimin, dia seorang khariji (berpemahaman Khawarij). Sungguh dia telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi As-Sunnah. Jika dia mati, mati dalam keadaan jahiliah. Tidak halal memerangi penguasa dan keluar (dari ketaatan) kepadanya meskipun penguasa tersebut bertindak lalim. Rasulullah pernah berkata kepada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari:

“Bersabarlah, meskipun (yang memerintahmu) seorang budak Habasyi.”

Juga sabda Rasulullah terhadap kaum Anshar:

“Bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku di al-haudh (telaga).”

Oleh karena itu, memerangi (menentang) penguasa bukanlah bimbingan As-Sunnah, karena penentangan (sikap memerangi) penguasa akan menimbulkan kerusakan agama dan dunia. (Lihat Syarhus Sunnah, Al-Imam Al-Barbahari, hlm. 78)

Islam membimbing pula, apabila proses penetapan penguasa tersebut menyelisihi apa yang telah ditentukan dalam syariat (semisal demokrasi atau kudeta) maka kewajiban terhadap pemimpin yang berkuasa tersebut tidak lantas dicabut. Kewajiban untuk mendegnar, taat, dan patuh tetap berlaku selama yang diperintahkannya adalah hal yang ma’ruf. Adapun dalam hal maksiat, tidak wajib menaatinya. Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud pernah ditanya, “Apakah sah seorang imam yang bukan dari kalangan Quraisy?” Jawab beliau, “Hal tesebut merupakan pendapat mayoritas ulama, yaitu tidaklah sah pemimpin selain dari Quraisy apabila yang demikian ini memungkinkan. Adapun bila tidak memungkinkan, sementara umat telah bersepakat untuk tetap membai’at imam (yang bukan dari Quraisy), atau ahlul halli wal ‘aqdi menyetujuinya, mengesahkan keimamannya dan mewajibkan untuk membai’atnya, tidak boleh melakukan penentangan terhadapnya. Ini adalah pendapat yang benar berdasarkan hadits-hadits shahih, seperti sabda Rasulullah:

“Kalian wajib mendengar dan taat, meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasy.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 9/5-7, dinukil dari Al-Jama’ah wal Imamah, Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, hlm. 82)

Dampak reformasi bagi masyarakat adalah terbukanya kran kebebasan. Masyarakat dihasung untuk berani menyampaikan aspirasinya. Di sisi lain, mentalitas masyarakat belum siap memaksnai kebebasan yang ada. Reformasi telah mengantarkan kehidupan bermasyarakat pada taraf tidak memedulikan lagi norma-norma dalam menyikapi penguasa. Apa yang diperoleh dari sebuah proses reformasi, yaitu mengajari masyarakat untuk kritis, merendahkan, melecehkan, dan mecaci-maki penguasa yang tak sejalan dengan pemikiran para “reformis”, adalah sebuah situasi yang sangat memilukan. Reformasi telah mencampakkan nilai-nilai Islam dalam hal menyikapi penguasa.

Runtuh, Keluhuran Akhlak Bangsa Kami

Reformasi telah melahirkan gaya hidup bebas. Karena sesungguhnya inti tujuan dicetuskannya gerakan reformasi, selain melengserkan pemerintahan Orde Baru, adalah menawarkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Nilai-nilai demokrasi dan kebebasan inilah yang mengubah wajah Indonesia.

Perubahan ini bisa ditilik dari beberapa sisi, antara lain rakyat didorong untuk bebas mengeluarkan pendapat tanpa adanya kontrol moral agama. Rakyat diberi ruang sebebas-bebasnya saat melakukan aksi unjuk rasa, bahkan hingga taraf melecehkan dan menjatuhkan nama baik mpenguasa. Lebih memprihatinkan lagi, justru yang melakukan tindakan semacam ini adalah dari kalangan yang pernah “bermukim” di kampus. Kategori pengunjuk rasa adalah kalangan intelektual, namun tidakan, ucapan, dan pemikirannya tidak mencerminkan pribadi yang terdidik secara baik dan benar. Tindakan-tindakan mereka cenderung menghalalkan segala cara. Prinsip:

“Tujuan menghalalkan segala cara,” merupakan prinsip yang lahir dari pemikiran Zionis Yahudi. Allah telah menggambarkan keadaan semacam itu melalui firman-Nya:

Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ai pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali ‘Imran: 72)

Ketika mereka begitu berambisi mengembalikan kaum muslimin kepada kekafiran, mereka tak segan-segan berbuat demikian, agar kaum muslimin merasa ragu terhadap ajaran Islam.

Selain itu, dampak lepasnya tali kendali kebebasan adalah tersebarnya berbagai bentuk perbuatan keji (fahisyah). Berbagai media berlomba menyebarkan berita yang merusak agama kaum muslimin, baik  dalam bentuk pornografi atau yang terkait faktro akidah: kesyirikan. Mereka terus-menerus menerbitkan tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang menggerus kebaikan agama seorang muslim. Padahal Allah telah mengancam orang-orang yang suka menyebarkan perbuatan keji di kalangan kaum mukminin dengan siksa yang pedih di dunia dan akhirat. Firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (An-Nur: 19)

Sikap malu sudah tercabut dari kepribadian bangsa ini. Mengungkapkan cacat, cela, dan aib seseorang tidak lagi dianggap hal yang memalukan. Justru yang demikian digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan harkat dan martabat seseorang. Rasulullah pernah berwasiat terkait masalah ini. Sabda beliau:

“Sikap malu itu tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 50)

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

“Sikap malu itu baik seluruhnya,” atau sabda beliau, “Sikap malu itu semuanya baik.” (HR. Muslim no. 61)

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bn Shalih Al-‘Utsaimin, jauhnya seseorang dari sikap malu pada masa sekarang ini melahirkan pernyataan-pernyataan yang keji dan kotor atau memicu timbulnya perbuatan-perbuatan yang jelek dan yang sejenis.

“Sesungguhnya apa yang diperoleh manusia dari perkataan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak (memiliki) rasa malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari, no. 6120)

Karena itu, seseorang wajib menjadikan sikap malu ini melekat pada dirinya, kecuali dalam urusan (agama) yang wajib diketahuinya. Dia tidak boleh merasa malu (untuk bertanya) tentang al-haq (kebenaran.) (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/268)

Sisi lain yang menyebabkan perubahan pada wajah Indonesia akibat gerakan reformasi adalah sebagian masyarakat disibukkan dengan dunia politik. Fokus perhatian mereka tersedot pada berita-berita politik. Tak mengherankan bila bacaan mereka sehari-hari adalah koran, majalah, televisi, dan media lainnya yang menyuguhkan rumor, konflik, dan berita-berita tendensius. Keadaan semacam ini mencapai puncak tatkala eforia politik berlangsung, yaitu saat gerakan reformasi mencapai puncak putaran dalam menggoyang kursi kekuasaan. Keadaan masyarakat kerap diombang-ambingkan oleh opini yang dilansir media massa. Bahkan, tidak sedikit yang lantas terpicu untuk melakukan aksi-aksi tidak terpuji. Akibat keadaan yang demikian, sebagian masyarakat tidak lagi bersemangat mempelajari Islam. Lebih mengherankan lagi, banyak dai atau mubalig yang semestinya menjelaskan dan memberi pendidikan agama kepada umat, malah turut mewarnai majelis taklim dengan rumor-rumor politik. Bukan pendidikan agama yang diberikan tetapi obrolan-obrolan bernuansa politik yang bersumber dari media massa yang disuguhkan. Tidak mengarahkan umat bagaimana bersikap dalam kehidupan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah, para dai atau mubalig tersebut, malah lebih banyak bertutur tentang sepak terjang tokoh reformasi. Terjadilah proses pembodohan terhadap umat. Ini adalah sisi terparah dari kebobrokan yang dihasilkan gerakan reformasi. Umat menjadi jahil dan semakin jauh dari pemahaman Islam yang benar. Bahkan, dalam masa eforia politik ini banyak dai atau mubalig yang tersihir dengan politik. Mereka mengubah arah perjuangan dakwah dengan meceburkan diri dalam lumpur demokrasi. Mereka berlomba-lomba meraup kursi kekuasaan, sedangkan dunia dakwah ditinggalkan begitu saja.

Dalam kondisi umat terfitnah (diuji) oleh situasi politik, para dai Ahlus Sunnah tetap menyuarakan pemurnian dalam berislam. Mereka menyadarkan umat agar tetap menyibukkan diri untuk menuntut ilmu syar’i. Inilah nasihat Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan terhadap orang-orang yang disibukkan oleh aktivitas politik. Menurut beliau, menyibukkan diri dengan berbagai orasi, media massa, dan perkembangan-perkembangan (dinamika) yang terjadi di dunia tanpa mempelajari akidah dan ilmu syar’i merupakan kesesatan dan upaya yang sia-sia. Kesibukan tersebut hanya akan menjadikan pelakunya sebagai orang yang kacau pikirannya, karena dia telah menukar sesuatu yang lebih baik dengan sesuatau yang rendah nilainya. Allah telah memerintahkan kepada kita agar yang pertama dipelajari adalah ilmu yang bermanfaat (ilmu syar’i). Allah berfirman:

“Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkah Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)

Firman-Nya:

“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)

Firman-Nya:

“Katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.’” (Thaha: 114)

Banyak ayat lainnya yang mendorong seseorang untuk menuntut ilmu (syar’i) yang memiliki kedukukan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sesungguhnya, inilah yang dimaksud ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Ilmu inilah yang merupakan cahaya yang akan menerangi seseorang agar bisa melihat jalan yang mengarahkannya menuju surga dan kebahagiaan. Juga yang akan mengarahkan seseorang menuju kehidupan yang baik dan bersih di dunia dan kehidupan yang bahagia di akhirat kelak. Allah berfirman:

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabbmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadaamu cahaya yang terang-benderang (Al-Qur’an). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” (An-Nisa’: 174-175)

Oleh karena itulah, seseorang membaca Surat Al-Fatihah dalam setiap rekaat saat shalatnya dan berdoa dengan doa yang agung:

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)

Orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah adalah orang yang mampu menyatukan ilmu yang bermanfaat dengan amal shalih. Allah berfirman:

“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Firman Allah:

“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai,” adalah mereka yang memiliki ilmu, namun meninggalkan amal (shalih). Adapun firman-Nya:

“Dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat,” adalah orang-orang yang melakukan amal, namun tidak didasari ilmu. Oleh karena itu, sifat kelompok pertama adalah yang dimurkai karena mereka bermaksiat kepada Allah padahal mereka memiliki ilmu. Adapun sifat kelompok kedua adalah mereka yang tersesat karena beramal tanpa disertai ilmu. Mereka semua adalah orang-orang yang tidak akan memperoleh keselamatan kecuali orangorang yang telah Allah karuniai nikmat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan beramal shalih. Karena itu, wajib bagi kita untuk memerhatikan hal ini.

Adapun terhadap orang-orang yang menyibukkan diri dalam mengamati peristiwa-peristiwa kekinian (seperti pengamat politik, sosial, dan lainnya) sebagaimana mereka sering mengistilahkan dengan fiqhul waqi’, hendaknya mereka melakukan hal itu setelah memahami fiqih syar’i, karena seseorang yang memahami fiqih syar’i akan melihat persoalan kekinian, atau peristiwa yang terjadi di dunia, atau adanya berbagai pemikiran dan pendapat, dari sudut ilmu syar’i yang shahih sehingga bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Bila tanpa ilmu, mereka tidak akan bisa membedakan antara yang haq dan yang batil, antara petunjuk dan kesesatan. Oleh karena itu, orang yang menyibukkan diri dalam masalah budaya, berbagai berita media massa, dan politik, tanpa didasari limu agama yang benar hanya akan disesatkan oleh hal-hal tersebut. Karena sesungguhnya mayoritas permasalahan yang terkandung dalam hal-hal tersebut bersifat menyesatkan dan mengajak kepada kebatilan. Permasalahan tersebut bersifat menipu. Setiap pernyataannya dihiasi (dengan sesuatu yang indah). Kita memohon kepada Allah akan al-‘afiyah (penjagaan) dan keselamatan. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hlm. 103-105)

Dampak gerakan reformasi yang membahayakan keselamatan Islam seseorang adalah tumbuh suburnya pemikiran pluralisme. Semua pemikiran keagamaan dianggap setara dan benar, sehingga berhak untuk tumbuh di Indonesia. Kasus Ahmadiyah merupakan bukti mencolok keterlibatan para aktivis pluralis dan pemikir penyatuan agama. Sikap ekstrem aktivis pluralis dalam melakukan pembelaan terhadap paham sesat Ahmadiyah mengundang ekstremitas dari sebagian kalangan yang menghendaki pembubaran Ahmadiyah. Muaranya adalah terjadinya bentrokan fisik di seputar Lapangan Monas. Menilik dan mencermati kasus tersebut, tampak bahwa para aktivis pluralis dan kebebasan beragam semakin berani menunjukkan taring. Mereka secara berani menantang dan menampakkan keyakinannya di ruang publik. Ini belum pernah terjadi pada masa sebelum gerakan reforamsi bergulir.

Allah telah menyatakan secara tegas bahwa agama yang benar, diridhai, dan diterima di sisi Allah adalah Islam. Allah berfirman:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Firman-Nya:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Firman-Nya:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah: 3)

Gerakan reformasi telah melapangkan paham demokrasi hingga tertancap makin kokoh di Indonesia. Melalui upaya penggulingan kekuasaan, para tokoh reformis mereformasi sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari sinilah penenaman nilai-nilai yang menyelisihi syarita digencarkan. Sebagian masyarakat terkesima, bahkan mengagungkan nilai-nilai Baratdalam bentuk demokratisme. Oleh sebagian aktivis keagamaan, paham demokrasi dibebot sedemikian rupa agar identik dengan syariat Islam. Dilontarkanlah pengertian yang menyesatkan, seakan demokrasi adalah praktik nyata dari sistem syura yang dikenal dalam syariat Islam, padahal nyata jauh beda antara keduanya. Satu dan lainnya justru sangat bertentangan. Demokrasi merupakan produk pemikiran Yunani, sementara syura merupakan syariat yang berasal dari wahyu. Syura merupakan ketentuan yang diperintahkan Al-Khaliq Ar-Rahman:

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)

Firmannya:

“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy-Syura: 38)

Jelaslah bahwa seseorang yang mengamalkan syura secara ikhlas berarti dia tengah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, karena musyawarah (syura) yang diamalkan hakikatnya merupakan wujud nyata perintah Allah. Ini tentu berbeda dengan orang yang berkubang dalam lumpur demokrasi. Dia bergelut dengan nilai-nilai falsafah orang-orang Yunani, bergelut dengan produk pemikiran manusia yang lemah.

Alam reformasi telah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya nilai-nilai kekufuran, terutama dalam sistem bermasyarakat dan bernegara.

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)

Berkaitan dengan demokratisme yang merupakan nilai kufur, ketika paham ini diterapkan akan melahirkan sekian banyak kerusakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Satu contoh konkret yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia adalah terjadinya pemborosan (tabdzir) dalam setiap acara pemilihan umum, baik tingkat pusat maupun daerah. Sekian banyak dana dikucurkan guna memilih seorang pemimpin di tingkat pusat maupun daerah. Setiap partai politik tentu tidak sedikit menyediakan dana untuk menyukseskan calon yang diusungnya. Dari mana dana yang demikian banyak itu diperoleh pihak partai? Wallahu a’lam. Yang jelas, telah banyak dana disia-siakan saat proses pemilihan calon pemimpin atau legislatif di Bumi Nusantara ini.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesunggunya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 1-8)

Keinginan manusia untuk bermegah-megahan dalam soal duniawi seringkali melalaikan manusia dari tujuan hidupnya. Seseorang akan benar-benar menyadari kesalahannya itu setelah maut menjemput, kecuali orang yang dirahmati Allah. Karenanya, kelak manusia akan ditanya di akhirat tentang nikmat yang dibangga-banggakannya itu. Bermegah-megahan dalam hal banyaknya harta, pengikut, kemuliaan, jabata, dan yang semisalnya telah banyak melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah. Jika seperti ini, manusia telah tertipu oleh kehidupan dunia. Sadarlah, wahai hamba Allah! Allahul musta’an (Allah sajalah yang dimintai pertolongan).

Wallahu a’lam.

Kedudukan Penguasa di dalam Syariat.

Ulil amri (pemimpin/penguasa) memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka menempati martabat yang luhur dan mulia. Syariat menganugerahi mereka berkaitan dengan kekuasaan dan tugas mereka yang memiliki keluhuran. Selain, tentunya terkait tanggung jawabnya yang demikian besar. Karenanya, mereka diberi gelar kedudukan dalam keimamahan yang menggantikan nubuwah dalam menjaga agama dan politik dalam urusan dunia.

Sesungguhnya, seseorang tidak akan mampu mengendalikan kekuasaan kecuali dengan kekuatan dan keteguhan kepemimpinan. Jika syariat tidak memberikan padanya apa yang terkait tabiat amal, yaitu individu yang menghormati dan mengagungkannya, sungguh akan menjadi batu ujian bagi manusia. Apalagi jika mereka tidak mampu mengendalikannya. Akibatnya, akan timbul bencana dan kekacauan di masyarakat umum, lenyaplah berbagai kemaslahatan, timbulnya kerusakan dunia, dan telantarnya kehidupan beragama.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait mulianya kedudukan penguasa, di antaranya:

1. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa diiringkan dengan ketaatan kepada-Nya, ketaatan kepada Rasul-Nya. Ini menunjukkan luhurnya urusan dan besarnya kekuasaan mereka. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59)

Ketaatan kepada penguasa diwajibkan terhadap semua hamba dengan batasan selama tidak memerintahkan bermaksiat kepada Allah. Jika penguasa itu memerintahkan kemaksitata, tidak wajib untuk menaatinya, karena tidak adaa ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah).

2. Syariat mengabarkan bahwa barangsiapa memuliakan penguasa, Allah akan memuliakannya. Barangsiapa menhinakan/merendahkan penguasa, Allah akan merendahkan/menghinakannya. Maknanya, sesungguhnya siapa saja yang lancang terhadap penguasa maka dia telah menghinakan penguasa, dalam bentuk perbuatan atau perkataan (pernyataan). Dia telah melampaui hukum-hukum Allah, melanggar larangan-larangan yang jelek. Dia akan mendapatkan sanksi atas segala perbuatannya tersebut. Allah akan membalas kehinaan dengan kehinaan. Bahkan, kehinaan yang Allah timpakan lebih besar dan lebih keras. Pada sebagian lafadz dari hadits Abu Bakrah disebutkan:

“Barangsiapa memuliakan penguasa Allah, Allah akan memuliakannya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/492)

3. Sesungguhnya penguasa adalah zhillullah (naungan Allah) di muka bumi. Hadits yang meriwayatkan tentang hal ini banyak dan diriwayatkan dari banyak perawi pula. Yang paling shahih adalah yang diriwayatkan Abu Bakrah dan lafadz tersebut sebagaimana dalam As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim:

“Penguasa itu naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa memuliakannya, Allah pun memuliakannya. Barangsiapa menghinakannya, Allah akan menghinakannya pula.”

Pernyataan ‘penguasa itu naungan Allah’ mengandung pengertian bahwa dengannya Allah akan melindungi manusia dari gangguan, sebagaimana naungan adalah pelindung dari gangguan terik matahari. Penyandaran kepada Allah pada kata zhillullah, atau pada sebagian lafadz dengan menyebutkan sulthanullah, merupakan bentuk maklumat kepada manusia bahwasanya naungan tersebut tidaklah seperti seluruh naungan yang lain. Itu menunjukkan ketinggian dan kemuliaan naungan tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa naungan tersebut memiliki faedah dan manfaat yang besar. Penyandaran (idhafah) kepada Allah sesungguhnya menunjukkan idhafah tasyrif (penyandaran pemuliaan) sebagaimana pada kata Baitullah, Ka’batullah, atau yang lainnya. Ini mengandung isyarat akan ketinggian kedudukan penguasa dan kemuliaan keberadaanya.

4. Syariat melarang seseorang mencela penguasa dan mencegahnya terjatuh dalam perbuatan tersebut. Anas bin Malik berkata:

“Kalangan tua dari para sahabat Rasulullah melarang kami (mencela penguasa). Mereka berkata, ‘Janganlah kalian mencela pemerintah kalian, janganlah melakukan tipu daya terhadapnya, jangan pula membencinya. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya (keputusan) urusan itu sangat dekat.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim, 2/488)

Juga disebutkan oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (6/499), Allah telah menjadikan sultan (penguasa) sebagai penolong makhluk-Nya. Oleh karena itu, jagalah kedudukannya dari celaan dan hinaan. Jadikanlah penghormatan kepadanya sebagai sebab terbentangnya naungan Allah dan bersinambungannya pertolongan (Allah) terhadap makhluk-Nya. Sungguh kalangan As-Salaf telah memperingatkan agar tidak mendoakan kejelekan terhadap penguasa, krarena bertambahnya kejelekan (pada penguasa) akan menambah bencana (bala) terhadap kaum muslimin.

5. Badruddin ibnu Jamaah telah menukil dari Ath-Thuthusyi sehubungan dengan firman Allah:

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” (al-Baqarah: 251)

Maknanya, seandainya Allah tidak menegakkan kedudukan penguasa di muka bumi, niscaya yang lemah akan ditindas yang kuat, yang dizalimi akan diadili oleh yang menzaliminya, dan sebagian manusia akan menguasai sebagian yang lain secara zalim. Kemudian Allah menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya tegaknya penguasa atas mereka dengan firman-Nya:

“Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Al-Baqarah: 251)

6. Umat telah bersepakat, sesungguhnya manusia tidaklah akan menegakkan urusan agama dan dunia mereka kecuali dengan adanya keimamahan (pemerintahan). Kalaulah Allah tidak (menegakkan) kepemimpinan (pemerintahan) niscaya agama akan telantar dan urusan dunia pun rusak.

Pengertian ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Faqih Abu Abdillah Al-Qal’i Asy-Syafi’i dalam kitab Tahdzibu Ar-Riyasah (hlm. 94-95). Beliau menyebutkan bahwa mengatur urusan agama dan dunia yang dimaksud ini tidak akan membawa hasil (tidak akan bisa terlaksana) kecuali dengan keberadaan imam (penguasa).

7. Sesungguhnya imamul a’zham adalah orang yang mendapat pahala yang paling utama jika dia bersikap adil. Disebutkan oleh Al-Izz bin Abdis Salam dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam (1/104):

Pahala imamul a’zham lebih utama daripada pahala seorang mufti dan hakim (qadhi), karena kemaslahatan yang dihasilkannya dan kerusakan yang dicegahnya lebih menyeluruh.

Karena, keberadaan mereka akan memberikan kebaikan secara total dan mencegah setiap kerusakan yang menyeluruh. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

8. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pemerintahan termasuk ketaatan yang paling utama. Sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya pemerintahan termasuk kewajiban agama yang paling agung. (Majmu’ Al-Fatawa, 28/390)

(Diringkas dari Mu’amalatul Hukkam fi Dhau’i Al-Kitab wa As-Sunnah, Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hlm. 48-59)

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah Vol. V/No. 60/1431 H/2010 hlm. 13-27